Selasa, 17 Maret 2009

berpikir dewasa bagi remaja

Tidak banyak yang tahu apabila tanggal 12 agustus sejak 6 tahun lalu diperingati sebagai hari remaja sedunia. Hari remaja sedunia merupakan implementasi dari kepedulian remaja dunia terhadap masalah global. Ketika mulai diperingati tahun 2001 lalu, tema utama yang didengungkan adalah kesehatan dan pengangguran. Sungguh luarbiasa, mengingat kebanyakan dari remaja biasanya egois dan hanya bisa hura-hura.

Tahun selanjutnya tema yang diusung sedikit berbeda, namun tetap mengangkat isu yang jarang dibahas oleh remaja kebanyakan, yaitu now and the future, peringatan tahun 2002 dimulai dengan petisi bahwa remaja haruslah mempunyai pemikiran untuk terus berkembang dan maju. Tahun 2003 tema yang diusung adalah remaja dan bagaimana cara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan produktif untuk setiap remaja dimasa depan. Karena remaja haruslah memiliki harapan atas sebuah pekerjaan yang bisa menghidupi mereka dimasa depan. Sehingga tidak lagi menjadi beban bagi masyarakat.

Tahun 2004 hari remaja sedunia mengangkat tema masyarakat antar generasi. Tema ini dipilih karena PBB ingin menekanakan akan pentingnya solidaritas atau kesetiakawanan dan mempererat ikatan dalam keluarga serta masyarakat luas. Karena diperkirakan ketergantungan remaja akan keluarga dan masyarakat akan meningkat.

Jika kita lihat tidak semua pengaruh barat adalah jelek, sebuah ide dan pemikiran brilian ini sungguh harus kita tiru dan terapkan dalam hidup kita sebagai remaja. Sadar atau tidak kebanyakan kita, mahasiswa merasa sebagai individu dewasa yang kadang pola pikirnya tidak lebih dari seorang anak TK. Hedonisme, pacaran, wacana kosong tanpa implementasi nyata dan puluhan korban mode. Bukan sok bersih, bukan sok suci namun itu kenyataan yang mesti kita pikirkan. Kebanyakan dari kita mahasiswa beranggapan bahwa kita adalah orang dewasa dan bukan remaja lagi. Tapi lihatlah mereka kaum remaja dunia yang sudah jauh melangkah didepan untuk melakukan perubahan besar dalam hisup mereka. Remaja dunia telah mulai berpikir tentang masalah global, masalah bersama yang tidak hanya menjadi masalah orang dewasa. Kedewasaan berpikir remaja itulah yang mesti kita contoh dan mulai terapkan

Seperti tahun 2005 hari remaja sedunia mengangkat tema WPAY +10 (World Programs of Action for Youth) and making commitment mater. Disini kepedulian remaja ditantang, dimana akan dibuat sebuah program kepedulian remaja terhadap masalah sekitar dan evaluasi setiap 10 tahun. Disini kita melihat, bahwa remaja dunia sudah mulai mengenal dan menerapkan (need for achievement) dalam hidup mereka. Sedang kita mahasiswa yang katanya sudah dewasa pernah melakukan apa? Hedon?.

Remaja menurut dr. Astrid Wiratna1 adalah individu yang mengalami transisi antara masa anak dan masa dewasa, berusia kurang lebih 12-23 tahun, memiliki perubahan emosi, fungsi seksual, perubahan harapoan lingkungan dan perubahan nilai. Dan cirri utamanya adalah tidak realistic dan selalu berpikir utopis. Menurutnya masa remaja merupakan masa yang rentan terhadap berbagai masalah. Remaja yang cenderung memiliki rasa ingin tahu sangat besar, membuat mereka rentan terhadap segala perubahan dan pengaruh buruk dari lingkungan sekitar. Teman sebaya yang sangat dominant terhadap perilaku dan gaya hidup, hasrat seksual yang mulai tumbuh dan seringkali tidak terkendali.

Salah satu permasalahan yang sering menghinggapi remaja dan mahasiswa kebanyakan adalah masalah seputar pendidikan seks. Seksualitas dianggap merupakan ranah private khusus orang dewasa dan remaja tidak berhak tahu. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar mereka tidak keliru dalam mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Sehingga masalah freeseks bisa ditekan semaksimal mungkin.

Remaja, disadari atau tidak memiliki keingintahuan yang besar. Hal ini merupakan akibat dari proses pubertas mereka. Keinginan untuk diakui, berkreasi, dan bereksistensi. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri.2

Salah satu bukti nyata yang telah dilakukan oleh remaja sedunia, dalam usaha mereka mengenai kepedulian terhadap masalah dunia adalah tema tahun 2006 yaitu stand up against poverty. Sebuah tema yang diangkat sebagai bukti kpedulian mereka kaum remaja terhadap kemiskinan global, tema tahun itu diangkat dengan harapan bahwa remaja dapat melihat dan ikut berpartisipasi dalam melakukan suatu perubahan ditengah kehidupan masyarakat terutama untuk memerangi kemiskinan di lingkungan sekitar mereka. Nah, sudahkah kita mahasiswa yang mengaku sudah dewasa melakukan sebuah aksi nyata seperti mereka “adik remaja�? atau masih berkutat pada wacana tiada akhir dan terus demo tanpa arah dan tujuan yang jelas? Maaf bukan sok hebat dan sok ngatur, tapi alangkah baiknya mulai berusaha dengan tindakan kecil tapi nyata dibandingkan sebuah pemikiran dan wacana yang hanya akan membuat badan dan tubuh kita capek.

Tema international tahun ini adalah “ be seen, be heard : youth participation development �.tema ini diambil bertujuan untuk menunjukan eksistensi remaja dalam kepedulian dan kemampuan mereka terhadap masalah global. Tema ini juga diambil dengan tujuan bahwa remaja memiliki hak untuk dilihat, didengar dan diakui. remaja harus berpartisipasi aktif terlibat dalam pembangunan, terutama sebagai bagian yang aktif untuk mengatasi sumber masalah yang memberikan dampak buruk bagi kehidupan remaja itu sendiri.
Dengan turut sertanya remaja dalam proses pembangunan diharapkan mereka tidak canggung lagi dan kaget melihat segala permasalahan di masa depan. Hal inilah yang belum pernah atau bahkan di sepelekan di Indonesia. Remaja selalu dianggap sebagai subjek yang tidak tahu apa-apa dan belum waktunya mikir yang “berat-berat�. Sehingga saat mereka masuk kedalam masa awal kedewasaan mereka menjadi kaget dan tidak bisa bertahan melawan kerasnya hidup.

Maka lewat hari remaja sedunia tanggal 12 agustus kemarin kita jadikan sebagai toggak bersejarah dalam hidup kita dan memulai hari baru dengan semangat perubahan. Dan jika kita mau, mulai ajak teman-teman dan orang yang kita sayangi untuk berevolusi menjadi remaja yang siap menghadapai perubahan. Siap?

Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu. Seiring dengan berlalunya waktu dan perkembangan selanjutnya, seorang anak perlahan-lahan akan belajar untuk mandiri. Tidak mudah memang, namun jika proses ini tidak pernah mau dimulai, lantas kapan bangsa ini mau jadi bangsa yang maju dan mandiri? Jika remajanya hanya bisa minta kiriman uang atau bergantung pada pacar untuk membeli nasi bungkus?

Kemandirian dan perubahan menuju kedewasaan merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh semua makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Kemandirian dalam konteks individu tentu memiliki aspek yang lebih luas dari sekedar aspek fisik. Sedangkan menjadi dewasa hanya bisa diukur melalui banyaknya pengalam hidup yang pernah kita alami. Selama masa remaja, tuntutan terhadap kemandirian ini sangat besar dan jika tidak direspon secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis sang remaja di masa mendatang.

pengembangan kurikulum PAI

Jika kredibilitas Departemen Agama dipertanyakan dalam mengelola pendidikan, maka Depag harus legawa (rela) melepaskan Universitas Islam Negeri (UIN) kepada Departemen Pendidikan Nasional. Hakikatnya UIN tidak berbeda dengan Perguruan Tinggi yang di dalamnya mengelola Fakultas Agama. Departemen Agama seyogianya dapat melepaskan beban politis ideologis; artinya, tidak perlu khawatir nilai dan pesan-pesan agama terdistorsi, karena sudah ada Undang-Undang Pendidikan Nasional yang menjamain tumbuh berkembangnya nilai-nilai agama dalam pendidikan formal. Rumusan pemikiran di atas merupakan kata kunci yang disodorkan oleh DR Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Ahmadi membuat perbandingan di negeri Belanda dalam penelitiannya tahun 1993-1994 tentang Studi Agama di Belanda, bahwa negara yang menganut paham sekuler, masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi yang bermuatan pesan-pesan spiritualitas dijembatani dengan peraturan perundang-undangan yang disebut dengan Duplet Ordo dengan produk pendeta-pendeta Kristen yang komit dengan agamanya. Jika Belanda mampu melaksanakan Pendidikan Agama di perguruan tinggi dengan pendekatan religius, Indonesia dengan Pancasilanya sudah pasti lebih mampu. Ahmadi menolak dikotomi lembaga pendidikan Islam. Munculnya UIN, sebuah jelmaan IAIN/STAIN sebagai universitas yang berlabelkan Islam telah mendiskreditkan perguruan tinggi negeri lain yang tidak berlabelkan Islam menjadi tidak Islami. Sederetan universitas yang dapat disebut seperti; UGM, Undip, ITB, dan UI serta PTN lain serta universitas Islam swasta, telah banyak memunculkan produk pakar santri dengan komitmen yang tinggi terhadap Islam dan ke-Indonesian. Pemikiran Ahmadi tersebut merupakan catatan pertimbangan dalam pendirian UIN ke depan. Analisis itu ditunjukkan dalam konsep pengembngan kurikulum IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menggunakan pendekatan integratif dan interkonektif yang dimaksudkan untuk membangun kurikulum yang inklusif dan humanis. Ahmadi lebih berpihak pada IAIN/STAIN agar tidak terburu-buru mengubah diri menjadi universitas. Karena, jika IAIN sebagai PTAI mampu meningkatkan kualitas dan pengembangan ilmu keislaman yang bergayut dengan problema kehidupan, IAIN akan menjadi pesan khusus yang dicari masyarakat. Islam Suplemen Posisi Khalifatullah fil Ardl tidak cukup hanya dengan bekal agama. Iman yang tidak disertai ilmu, mudah ditipu, demikian sebaliknya ilmu tanpa iman, menjadi penipu. Dalam konteks ini, Ahmadi berpendapat bahwa Pendidikan Agama mempunyai peranan strategis dalam mengintegrasikan nilai-nilai dalam seluruh kegiatan pendidikan. Implikasi dari pemaknaan pendidikan Islam adalah reposisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Berikut ini adalah cuplikan sebagai tulisan atas Ahmadi dalam kertas pidato pengukuhan guru besarnya yang mengulas relevansi substansi antara pendidikan nasional dengan pendidikan Islam. Pertama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Tauhid); kedua, pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang berpotensi untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia) menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab sebagai individu dan anggota masyarakat. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada posisi konsep. Ditinjau dari tataran universalitas konsep Pendidikan Islam lebih universal karena tidak dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari posisinya dalam konteks nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem pendidikan nasional. Karena posisinya sebagai subsistem, kadangkala dalam penyelenggaraan pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen. Mengingat bahwa secara filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam relevan dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional, bahkan secara sosiologis pendidikan Islam merupakan aset nasional, maka posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional bukan sekadar berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai komponen substansial. Artinya, pendidikan Islam merupakan komponen yang sangat menentukan perjalanan pendidikan nasional. Keberhasilan pendidikan Islam berarti keberhasilan pendidikan nasional, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, pendidikan nasional sebagai sebuah sistem tidak mungkin melepaskan diri dari pendidikan Islam. Secara yuridis hal ini telah terakomodasi dalam Undang-Undang Sisdiknas no. 20 tahun 2003. Dengan terintegrasikannya sistem pendidikan nasional Islam sebagai komponen substansial ke dalam system pendidikan nasional, maka konsep lama yang membatasi pengertian pendidikan Islam secara sempit hanya pendidikan keagamaan harus dihapuskan. Implikasi politisnya adalah, kebijakan lama yang sampai sekarang masih berlaku yaitu memisahkan antara pendidikan Islam (keagamaan) yang dikelola dan dibina oleh Departemen Agama dan pendidikan umum yang dibina dan dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional, harus ditinjau kembali. Upaya peninjauan kembali peranan Depag sebagai pengelola pendidikan Islam memerlukan pikiran jernih, dengan menghilangkan kegamangan dari para elite muslim dan menanggalkan beban politis ideologis masa lalu yang selama ini menggelayutinya, serta memfokuskan pada pertimbangan pedagogis dan akademis. Jika hal ini dapat dilakukan, maka akan lahir kebijakan yang reformatif, yaitu : pengelolaan pendidikan Islam yang selama ini berada di tangan Departemen Agama diserahkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Kalau kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah. Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama merupakan keharusan sejarah (dlaruri), maka tidak demikian halnya di waktu sekarang. Sekarang Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah merupakan common platform. Aspirasi politik umat Islam sudah menyebar ke semua partai politik yang ada dan tidak utuh lagi. Bahkan parpol yang berlabel Islam tidak memiliki kekuatan penentu. Oleh karena itu klaim bahwa Departemen Agama sebagai representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik Islam dan sebagai satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam sudah tidak relevan lagi. Kedua, dualisme sistem kelembagaan pendidikan di Indonesia (pendidikan keagamaan oleh Departemen Agama dan pendidikan umum oleh Depdiknas) menurut Zamahsyari Dhofir merupakan suatu keunikan. Menurut hemat saya dualisme semacam itu dalam kondisi sekarang merupakan suatu keanehan yang perlu diluruskan. Manajemen modern mengenalkan prinsip efektivitas, efisiensi, dan fungsional sebagai kunci keberhasilan manajemen. Oleh karena itu, penyerahan otoritas pengeloilaan pendidikan Islam ke Depdiknas berarti melaksanakan prinsip ini. Ketiga, secara teoritis pengembangan ilmu pengetahuan akan optimal, manakala bebas dari tekanan berbagai kepentingan lain terutama politik, sebagaimana kata syair Al-’ilmu la yumkinu an yanhadladla illa idza kana khurran (ilmu tak akan berkembang kecuali ada kebebasan). Kehidupan modern mengenal adanya bermacam-macam institusi seperti politik, ekonomi, budaya, agama, dan pendidikan. Masing-masing memiliki wilayah garapan dan penataan sendiri-sendiri. Lembaga pendidikan sebagai pranata ilmu pengetahuan harus terlepas dari tekanan institusi lain. Keempat, wilayah garapan pendidikan yang selama ini dikelola oleh Depag sudah sedemikian luas, tidak hanya pendidikan agama dan keagamaan, tetapi mencakup hamper semua bidang ilmu pengetahuan, sehingga kelebihan beban (over loaded). Kalau hal ini diteruskan berarti pemaksaan diri karena memberikan beban tugas di luar batas kemampuannya. Kelima, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutam yang berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan Depdiknas. Depag sebagai pengikut konsekuensinya selalu di belakang, artinya menunggu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas. Di kalangan dosen hal ini sangat dirasakan karena kenaikan pangkat lektor kepala dan guru besar ditentukan oleh Depdiknas. Sedangkan contoh paling mutakhir adalah mengenai pengembangan kurikulum dengan pendekatan kompetensi (KBK). Dengan demikian berarti Depag tidak memiliki otoritas, sehingga inovasi dan kreativitas menjadi terbatas. Keenam, kalau kita sepakat perlunya mewujudkan pendidikan nondikotomik, maka dengan menempatkan pendidikan Islam pada satu atap di Depdiknas berarti sudah menghilangkan pendidikan dikotomik, sekurang-kurangnya dari aspek kelembagaan